I. PENDAHULUAN
Semangat menarik, demikian komentar kita manakala membuka lembaran tulisan Muhammad Abdul Azim al-Zarqani yang menyingkap keadaan umat Islam masa kini. Ungkap beliau:
“…. keadaan umat Islam sekarang, bagaikan orang mati kehausan, padahal air ada di sampingnya atau seperti laron yang mati terbakar dalam api pelita, padahal kalau ia mau membuka mata dan menuruti petunjuk cahayanya, akan tahu kemana arah jalan yang harus ditempuh.” Hal ini dikarenakan umat Islam sekarang hanya puas dengan berkali-kali membaca lafaz al-qur’an dan asyik memperindah bacaannya I rumah, serta mencukupkan mengambil berkah dengan menyimpannya di rumah atau dibawa ke mana-mana, seolah-olah mereka lupa bagaimana cara mencari berkah terhadap al-Qur’an itu.” (al-zarqani, t.th. I:576).
Memang, bila disimak lebih jauh kondisi umat Islam sekarang boleh dikata perlu mendapat penanganan yang serius dan sungguh-sungguh, agar mereka secepatnya bangkit dari tidurnya yang teramat lelap. Usaha ini akan cepat terwujud, manakala urusan umat Islam pedomannya dikembalikan kepada aturan hidup yang abadi dari Sang Penciptanya. Alasannya adalah:
1. al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat manusia (QS. 2 al-Baqarah ; 185; 14 : 1). Kebenarannya bersifat mutlak (QS. 30 : 60). Karenanya merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar lagi bagi setiap muslim, untuk mengamalkan seluruh petunjuk al-Qur’an (QS. 5 : 10 ; 6 : 155). Kewajiban yang demikian itu, tentu akan terlaksana, tanpa terlebih dahulu memahami maksud yang terkandung di dalamnya.
2. al-Qur’an merupakan penjelasan atas segala sesuatu hal (QS. 16 : 89). Kandugan al-Qur’an bukan monodimensi, bukan satu bidang, tapi polidimensi, mengandung beragam bidang, meliputi: fenomena-fenomena yang multi faset, mengandung hal-hal yang bersifat: intelektual, spiritual, natural dan sosial.
Dengan multi dimensinya itu, dalam kenyataan tidak semua umat Islam mampu menagkap dan memahami isi kandungan al-Qur’an baik yang tersurat, terlebih yang tersirat. Kesulitan memahami al-Qur’an, bahkan dirasakan pula oleh orang Arab sendiri. Apalagi pada masa kini atau masa mendatang, pasca perkembangan sains dan teknologi. Bagaimanapun al-Qur’an tetap wajib dijadikan landasan hidup dan landasan peradaban umat manusia. Masalahnya adalah bagaimana upaya yang harus dilakukan agar umat manusia dalam hidup dan kehidupan selalu berpedoman dan berpijak pada nilai-nilai al-Qur’an. Terlebih, dengan menatap tantangan masa depan? Jawaban singkatnya ialah memahami isi kandungan al-Qur’an. Cukuplah sampai disini? Tentunya tidak! Karena, al-Qur’an bukan sebuah buku karangasn manusia, melainkan ia adalah Kitab Allah, Kitab Suci yang diturunkan langsung oleh Sang Maha Pencipta. Memahami isinya adalah sangat sulit. Oleh karena itu, bagaimana merumuskan bentuk penjelasan al-Qur’an yang relevan dengan masa kini?
II. UPAYA MENAFSIRKAN AL-QUR’AN
Dalam uapaya mencari penjelasan isi kandungan al-Qur’an, bahwa Rasulullah s.a.w. sesuai dengan salah satu tugas penting tentang pengertian atau makna-makna ayat-ayat al-Qur’an (walau tidak seluruhnya). Tindakan beliau dilanjutkan oleh ulama-ulama, para sahabat, tabi’in, dan setterusnya. Sampai akhirnya, muncul usaha dan upaya dari para ulama berikutnya, untuk melakukan kajian ilmiah dengan tujuan yang sama. Hasil usaha itulah yang dalam khazanah ilmu keislaman dikenal dengan “Tafsir al-Qur’an”. Yang menurut Imam az-Zarqani, ialah: “Suatu ilmu yang di dalamnya membahas al-Qur’an al-Karim dari segi penunjukannya (dalalah-nya) kepada apa yang dimaksud oleh Allah Ta’ala menurut kemampuan manusia”. (az-Zarqani, t.th. II : 3).
Bentuk tafsir (penjelasan) ayat al-Qur’an, kalau dilihat dari segi sumber penafsirannya, para mufassir (ulama ahli tafsir) mengelompokkannya ke dalam tiga macam, yaitu:
1. Tafsir riwayat (manqul), yang lazim disebut “Tafsir bil-ma’tsur”, yaitu salah satu bentuk penafsiran al-Qur’an yang menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, al-Hadis (sunnah) Rasulullah Saw., pendapat para sahabat, dan tabi’in sebagai sumber penjelasannya.
2. Tafsir dirayah (ma’qul) yang banyak dinamakan dengan tafsir bir-ra’yi, yaitu penafsiran al-Qur’an yang bertitik tolak dari hasil ijtihad dan pendapat mufassir sendiri sebagai bahan penjelasannya. Atau, penafsiran yang menggunakan segi-segi bahasa Arab.
3. Tafsir isyari (sufi), yaitu penafsiran al-Qur’an yang berlainan dengan zhahir ayat (makna lahir ayat), karena ada petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama atau hanya diketahui oleh orang-orang tertentu yang dikenal oleh Allah Swt. (para sufi). Atau penafsiran al-Qur’an yang berdasarkan makna batin (makna yang tersirat dari suatu lafaz/ayat).
A. TAFSIR YANG DITOLAK
Kalau dikaji bagaimana kedudukan ketiga bentuk tafsir di atas, serta bagaimana pula pandangan para ulama terhadapnya. Kemudian, diadakan studi banding (komparasi), manakah yang lebih baik untuk diterima dan sedikit dari penyimpangan? Maka, kedua macam tafsir: tafsir birra’yi dan tafsir isyari, lebih banyak yang mempertentangkannya, bahkan tafsir isyari ditolak oleh kebanyakan para ulama. (lihat: al-Suyuthi, 1979, II : 184-185).
Penyebab yang tajam antara menerima dan pihak yang menolak ini, karena tafsir bir-ra’yi yang sumber penafsirannya dipengaruhi oleh latar belakang pribadi mufassir-nya.
Bagi pihak yang menerima, memang alasannya cukup rasional serta didukung oleh nash-nash al-Qur’an dan al-Hadis. Demikian halnya, pihak yang menolak beragumen dengan dalil-dalil naqli juga aqli berdasarkan atas kepuasan dan pemahaman mereka. (al-Suyuti, 1979, II: 179-180).
Namun, bila diperhatikan antara pihak penerima dan penolak tafsir bir-ra’yi dan tafsir isyari, cukup banyak persyaratan yang harus dipenuhinya (lihat: Ash-Shabuni, 1984: 242). Bagi yang menerima keduanya, banyak hal dan permasalahan yang harus diperhatikannya. Sebagai akibatnya (adanya penolakan dan penerima), pada perkembangan selanjutnya, tafsir bir-ra’yi ini terbagi menjadi: tafsir bir-ra’yi al-mazmumah (tercela/tertolak), yaitu: tafsir bir-ra’yi yang tidak memenuhi syarat-syarat penafsiran atau tafsiran yang berdasarkan atas fanatisme mazhab. Oleh sebab itu, jumlah tafsir bir-ra’yi ini sangat banyak corak dan ragamnya. Seperti tafsir yang dipengaruhi oleh keyakinan (aqidah): Tafsir Mu’tazili, Syi’i, dan sebagainya. Tafsir yang dipengaruhi oleh mazhab fiqh: Tafsir Hanafi, Syafi’i, Maliki dan sebagainya. Dan, tafsir bir-ra’yi al-mahmudah, yaitu tafsir bir-ra’yi yang dapat diterima, tafsir al-Qur’an yang memenuhi persyaratan penafsirannya.
Keragaman bentuk tafsir di atas, menunjukkan bahwa semuanya itu menjurus kepada bentuk-bentuk penafsiran tersendiri dengan tetap memperlihatkan pengaruh latar belakang penulis tafsir tersebut. Kenyataan ini akan bertambah negatif, karena akan mengalahkan nilai keuniversalan al-Qur’an. Al-Qur’an akan dipaksa mengikuti kehendak suatu mazhab, atau suatu golongan, padahal al-Qur’an tidak diperuntukkan kepada suatu golongan atau mazhab tertentu, akan tetapi untuk semua umat manusia secara keseluruhan. Dengan demikian, penafsiran al-Qur’an dengan corak bagaimanapun harus dapat diterima oleh semua pihak serta semua golongan.
B. TAFSIR ISYARI LEBIH RUMIT
Begitu halnya dengan tafsir isyari, justru bentuk seperti ini lebih banyak yang mempertentangkannya. Kebanyakan para ulama menolaknya. Beberapa literatur menunjukkan, bahwa pembahasan tafsir isyari ini lebih rumit, memerlukan penyelidikan yang sungguh-sungguh, teratur serta memerlukan penyelesaian yang mendalam. As-Suyuthi mengkritik secara tajam, bahwa penafsiran al-Qur’an oleh para sufi bukanlah “Tafsir”. Ash-Shobuni menyimpulkan:
Tafsir isyari itu mempunyai segi kekuatan dari syara’, sayangnya telah kemasukan pena’wilan yang rusak yang telah dipergunakan oleh orang sebagaimana aliran kebatinan. Mereka tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan ulama, sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya semua orang berani mencecerkan Kitab Allah, menta’wilkan menurut pendiktean hawa nafsunya atau menurut bisikan Syaithan. (Ash-Shobuni, 1984 : 246).
Di sampig hal-hal di muka, yang merupakan kendala dalam tafsir bir-ra’yi atau dalam tafsir isyari, adalah cara pemahaman dari isi tafsiran itu. Karena kebanyakan tafsir bir-ra’yi dan tafsir isyari disusun dengan pola tahlili (menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an ayat demi ayat sesuai dengan sistematika/tertib ayat-ayat al-Qur’an). Dengan sistem seperti ini, akan sulit memahami suatu ayat, karena pembahasan suatu ayat atau suatu masalah tidak secara tuntas, bahkan tidak mustahil akan terjadi kontradiksi terhadap masalah yang sama, hanya karena tidak berada dalam suatu ayat atau suatu surat tertentu. Akibatnya, keuntasan pemahaman suatu ayat atau suatu masalah akan sulit didapatkan. Sebagai contoh, penafsiran kata “Ash-Shabi’un” (orang-orang Sabi’un), dalam surat 22 al-Hajj ayat 17 ditafsirkan oleh Imam Jalaluddin al-Mahalli adalah kelompok orang-orang Yahudi, sedang Imam Jalaluddin al-Suyuthi, dalam ayat 2 (al-Baqarah) ayat 62 menafsirkannya dengan kelompok dari orang-orang Nasrani. (lihat: al-Jalalah, t.th. I : 238).
C. BAGAIMANA DENGAN TAFSIR BIL-MA’TSUR ?
Tafsir bir-ra’yi ataupun tafsir bil-ma’tsur adalah hasil karya manusia yang tak luput dari kekurangan (ringan), serta dapat dicarikan alternatif pemecahannya. Di sini dapat pula diprediksi bahwa di dalam tafsir bil-ma’tsur pun terdapat kelemahan.
Kelemahan yang terdapat di dalam tafsir bil-ma’tsur lebih mudah dicari jalan pemecahannya daripada yang terdsapat pada tafsir bir-ra’yi, lebih lagi dalam tafsir isyari. Ialah dengan jalan penyeleksian, manakah penjelasan (tafsiran) itu benar-benar muttashil (sambung sampai kepada Nabi Saw) yang kuat (tsiqah dan marfu}, atau yang mauquf dan dla’if.
Penilaian para ulama terhadap tafsir bil-ma’tsur ini lebih banyak bisa diterima. Banyak yang menyatakan, bahwa tafsir bil-ma’tsur merupakan bentuk tafsir yang terbaik. (lihat : Ibnu katsir, t. th. I : 3 ; As-Zarkasyi, 1957, II : 175 ; Ibnu Taimiyah, 1971 : 18).
Di samping itu, dengan metode bil-ma’tsur akan teratasi pengaruh mazhabiyah, artinya tidak akan mudah membawa al-qur’an kepada kehendak suatu golongan tertentu, sehingga nilai universalitas al-Qur’an tetap terjaga. Tafsirannya juga. Mudah di terima oleh semua pihak/golongan. Dengan demikian, nilai-nilai essensi al-Qur’an (ajaran Islam secara umum) akan tetap utuh, serta problem perpecahan umat akan mudah teratasi karena semuanya berkiblat pada nilai-nilai asasi ajaran Islam yang pokok.
Kelebihan yang lain dari metode bir-ma’tsur ini adalah memudahkan pemahaman suatu masalah secara tuntas. Karena suatu masalah dalam suatu ayat yang tidak dapat dipecahkan dalam ayat itu, akan dijelaskan dengan tuntas dengan pendekatan ayat yang lain’ dengan as-Sunnah atau dengan metode bir-ma’tsur, akan lebih meyakinkan dan sedikit memberi kepuasan.
Dengan adanya metode tafsir bir-ma’tsur, maka penjelasanya suatu masalah dalam suatu ayat akan terlihat secara lengkap; dengan ayat lain, dengan as-sunnah, atau dengan pendapatan para Sahabat dan Tabi’in. Pada perkembagan ilmu tafsir berikutnya, metode yang mengacau kepada tafsir bir-ma’tsur tersebut dikenal dengan “Tafsir Maudu’i” . Yang menurut Abdul Djalal, ialah :
Tafsir yang menjelaskan beberapa ayat al-Qur’an mengenai suatu judul/topik/sektor-sektor tertentu, dengan memperhatikan urutan tertib turunnya masing-masing ayat, sesuai dengan sebab-sebab turunnya yang dijelaskan dengan berbagai macam keterangan dari segala seginya dan diperbandingkannya dengan keterangan berbagai ilmu pengetahuan yang benar yang membahas topik/judul/sektor yang sama, sehingga lebih mempermudah dan memperjelas masalah. (Abd. Djalal, 1986 : 30 ).
III. URGENSI TAFSIR MASA KINI
Kepentigan tafsir al-Qur’an pada masa sekarang, tidak terlepas dari fungsi dan kedudukan tafsir al-Qur’an secara umum, yang berfungsi untuk menggali nilai-nilai al-Qur’an (nilai-nilai petunjuk al-Qur’an) . Nilai-nilai petunjuk al-Qur’an tersebut terbagi dua pokok, yaitu : pertama , bersifat Qath’i (pasti), yang dalam pengaplikasiannya bersifat universal, dan tidak temporer; kedua, bersifat Zhanni, bersifat dinamis dan fleksibel, yang dalam pengaktualisasiannya membutuhkan penafsiran dan penjabaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Karena penafsiran yang dibutuhkan sepanjang zaman itu, dipengaruhi oleh kultur pada zamannya. Atas dasar kenyataan seperti ini selalu dibutuhkan pembaharuan dalam penafsiran al-Qur’an, sesuai dengan prinsip : “al-Muhafadhatu’ala qadimishshalih, wal-akhzu bil-jadidil-ashlah.” (Menjaga yang terdahulu sudah baik, dengan mengambil nilai-nilai yang baru yang lebih maslahat).
Menafsirkan al-Qur’an adalah menganalisis dan menginterpretasi al-Qur’an, yang juga di dalamnya termasuk mena’wilkan al-Qur’an, sebagai upaya untuk menyingkap dan memahami maksud yag terkandung di dalam al-Qur’an tersebut. Pekerjaan semacam ini, sudah dilakukan semenjak al-Qur’an sedang dalam proses diturunkan, dan terus-menerus dilakukan oleh para ulama berikutnya. Namun, rasanya sekarang usaha tersebut mengalami penurunan, mesti lebih dekat dikatakan berhenti. Keadaan tersebut, yang menjadi penyebab utama terjadinya kemunduran umat Islam di segala sektor. Mereka terpedaya oleh sebagian pendapat pemuka mereka yang menganggap cukup dan lengkap apa yang sudah dikerjakan oleh para pendahulunya. Mereka tidak mau bersusah payah untuk menggali nilai-nilai al-Qur’an yang sesuai dengan masa kini, sebagai bahan untuk memecahkan berbagai persoalan umat yang kian semakin rumit.
Untuk itulah, perlu menjadi renungan bersama: “cukuplah umat Islam dewasa ini hanya berpangku tangan dan bertopang dagu menatap kemajuan bangsa-bangsa dan umat yang lain”.? Relakah mereka hidup dalam segala kemunduran?
Bila mereka rela atas kenyataan umat Islam dewasa ini, maka tidaklah perlu untuk menjawab problem kehidupan umat masa sekarang dari al-Qur’an. Bila tidak ? perlukah kiranya mencari bentuk (metode) penafsiran al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan masa kini. Karena umat Islam sekarang ini tidak akan dapat kembali jaya, kecuali dengan cara mengikuti jalan kejayaan yang pernah dicapai oleh perintis-perintis mereka, bahkan harus lebih maju. Upaya itu adalah kembali memahami petunjuk al-Qur’an; menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang diaplikasikan dalam setiap prilakunya; menjadikan al-Qur’an sebagai hukum yang hidup ditengah-tengah kehidupan. (Lihat: Az-Zarqani, t.th. I : 475).
Kiranya, dapat ditawarkan sebuah metode alternatif dalam upaya mencari bentuk penafsiran yang relevan dengan masa sekarang. Ialah metode “Tafsir al-Maudlu’i” (al-Manhaj al-Maudlu’i).
IV. METODE TAFSIR YANG TERPILIH
Dari sekian banyak metode tafsir al-Qur’an, sementara al-Manhaj al-Maudlu’i (metode tafsir maudlu’i/metode topikal), yaitu mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan satu topik tertetu, dengan memperhatikan masa dan sebab-sebab turunnya; mempelajari ayat-ayat itu secara cermat serta mendalam dengan memperhatikan peranan nisbah ayat yang satu dengan yang lainnya dalam menunjukkan suatu masalah. Kemudian menyimpulkan permasalahan yang dibahas dengan memperhatikan dalalah ayat-ayat tersebut secara utuh dan terpadu. Metode seperti itu, dianggap sebagai model terakhir abad ini, tanpa mengurangi nilai dan arti tafsir-tafsir sebelumnya.
Dengan metode al-Maudlu’i di atas, akan memudahkan umat Islam dalam menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an sesuai dengan situasi dan kondisi, tuntutan zaman sekarang serta sesuai pula dengan sifat al-Qur’an yang universal. Dengan itu akan mudahlah memahami suatu permasalahan secara tuntas.
V. PENUTUP
Kiranya dapat disimpulkan bahwa keadaan umat Islam sekarang membutuhkn pemahaman yang aktual terhadap isi kandungan al-Qur’an. Pemahaman yang sesuai dengan kondisi umat Islam dewasa ini dan kemajuan zaman masa kini; konsepsi penafsiran al-Qur’an yang mampu memecahkan permasalahan-permasalahan umat masa sekarang.
Konsepsi penafsiran al-Qur’an yang sesuai dengan keadaan sekarang adalah penafsiran yang bersifat topikal; yang terkandung di dalamnya penjelasan al-Qur’an secara kontekstual. Penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan topik tertentu dan dikaitkan atau ditinjau dari berbagai segi sains atau teknologi.
Untuk mewujudkan maksud di atas, maka perlu membentuk “Team Penafsiran al-Qur’an” yang melibatkan berbagai ahli dari beragam disiplin ilmu yang berbeda. Tapi, tetap komitmen dengan al-Qur’an dan ajaran Islam serta kaum muslimin.
oooOOOooo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar