AL ZARNUJI
TOKOH PENDIDIKAN PERIODE 750 – 1250 M
A. Pendahuluan
Allah swt berfirman dalam al Qur’an surat al-Mujadalah ayat 1:
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[1]
Sejarah perkembangan pendidikan Islam, telah muncul seiring perkembangan itu sendiri, di mana kehadirannya telah menanamkan nilai-nilai ajaran Islam. Seiring perkembangan Islam dan terbentuknya Masyarakat Islam, mesjid-mesjidpun mengembangkan peranannya menjadi pusat pengembangan pendidikan Islam yang dalam pelaksanaannya dikembangkan dalam bentuk halaqah (learning Circle).
Sistem pendidikan bagi umat Islam mengoperasikan bidang kegamaan, spiritul, sosial dan politik. Sistem nilai Islam tersebut telah menciptakan beberapa perbedaan dasar antara sistem pendidikan Islam dan modern baik di Timur maupun di Barat.[2]
Klasifikasi perkembangan pendidikan islam menurut Harun Nasution terbagi kedalam tiga periode yaitu zaman klasik berlangsun sejak awal kemajuan Islam (650-1000 M), hingga masa disintegrasi (1000 M-1250 M) yaitu dari zaman Nabi Muhammad SAW., sampai runtuhnya bani Abbasiyyah.
Zaman pertengahan berlangsung dari zaman kemunduran (1250-1500 M), masa ketiga kerjan Mongol Utsmani dan Safawi (1500-1700 M), dan masa kemunduran II (1799-1800 M) yang sejak runtuhnya bani Abbsiyyah ssampai antara abad 17 dan 18 Hijriyah Pada Abad pertengahan ini yang banyak berperan dalam bidang pendidikan adalah Sulthan Mahmud II, beliau terkenal dengan pelopor pembaruan pendidikan.
Zaman Modern (kontemporer)/zaman pembaruan, berlangsung dari tahun 1800 hingga sekarang, yang ditandai dengan pergolakan dan kebangkitan Umat Islam diseluruh dunia. Pada zaman modern ini yaitu sejak abad 18 H, 19 H sampai sekarang. Pola pembaharuan pendidikan dirintis oleh Muhammad bin Abdul al-Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh (akhir abad -19 H). dalam pembabakan ini sifatnya harus muthlak demikian. Akan tetapi pembabakan ini dimaksudkan untuk mempermudah memahami dari sehi sejarah secara kronologis.
Dalam makalah ini kami akan membahas pemikiran pendidikan pada zaman klasik dengan tokoh yang menjadi sorotan utama adalah Burhanuddin al Islam al Zarnuji. Walaupun secara langsung biografi kelahirannya tidak dapat diketahui secara pasti namun yang jelas beliau menghiasi indahnya dunia serta memberi warna dengan corak sumbang sih pemikirannya sekitar tahun 750 – 1250 M.[3]
B. Riwayat Hidup
Al Zarnuji mempunyai nama lengkap Burhanuddin al Islam al Zarnuji. Tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti, namun tanggal wafatnya terdapat dua pendapat.
Al Zarnuji menuntut ilmu di
Al Zarnuji selain ahli dibidang pendidikan dan tasawuf juga menguasai bidang-bidang lain seperti sastra, fiqh, ilmu kalam dan sebagainya.[4]
C. Situasi Pendidikan pada Masa al Zarnuji
Dalam sejarah pendidikan Islam, terdapat lima tahap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan. Pertama, pendidikan pada masa nabi Muhammad saw (571–632 M). Kedua, pendidikan pada masa khulafaurrosiddin (632-661 M). Ketiga, pendidikan pada masa bani Umayyah di Damsyik (661– 750 M). Keempat, pendidikan pada masa jatuhnya kholifah di Baghdad (1250-1800 M). Kelima, pendidikan pada masa modern (1800-sekarang).
Dari periodisasi di atas, al Zarnuji hidup pada masa keempat dari periode pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, antara 750-1250 M. Dalam catatan sejarah, periode ini merupakan zaman keemasan peradaban Islam, terutama dalam bidang pendidikan Islam. Pada masa itu kebudayaan Islam berkembang pesat dengan ditandai oleh tumbuhnya berbagai lembaga pendidikan, mulai tingkat dasar sampai dengan tingkat perguruan tinggi. Diantaranya adalah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizham al Mulk (457 H/1106 M), Madrasah al Nuriyah al Kubra, didirikan oleh Nuruddin Muhammad Zanki (563 H/1167 M), Madrasah al Mustansyiroh didirikan oleh kholifah Abbasyiah al Mustansir Billah di Baghdad (631 H / 1234 M).
Selain ketiga madrasah tersebut, masih banyak lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang pesat pada zaman al Zarnuji. Dengan informasi tersebut, tampak jelas bahwa beliau hidup pada masa ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam mengalami puncak kejayaan, yaitu pada masa Abbasyiah yang ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir Islam ensiklopedik yang sukar ditandingi. Kondisi pertumbuhan dan perkembangan tersebut sangat menguntungkan bagi pembentukan al Zarnuji sebagai seorang ilmuwan atau ulama yang luas pengetahuannya.[5]
D. Konsep Pendidikan al Zarnuji
Konsep pendidikan al Zarnuji tertuang dalam karya monumentalnya, kitab “Ta’lim al Muta’allim Thuruq al Ta’allum“. Kitab ini diakui sebagai karya monumental dan diperhitungkan keberadaannya terbukti para peneliti dan ilmuan muslim maupun orientalis menjadikan kitab tersebut sebagai salah satu rujukan.
Kemudian selain dari pada itu, content/isi dari kitab ta’lim tersebut kalau diibaratkan seperti sebuah cabai rawit kecil tapi pedas, artinya tidak hanya metode belajar tetapi juga tujuan, prinsip-prinsip dan strategi belajar yang terkandung dalam kitab tersebut didasarkan pada moral religius. Bahkan di negara kita Indonesia setiap lembaga pendidikan klasik maupun modern seperti pesantren tidak pernah ada yang meninggalkan mengkaji dan menjadikan kitab ta’lim sebagai salah satu pegangan dalam mengarungi samudra kehidupan.
Dari pembahasan kitab ini dapat diketahui tentang konsep pendidikan Islam yang dikemukakan al Zarnuji, antara lain:
1. pengertian ilmu dan keutamaannya;
2. niat belajar;
3. memilih guru, ilmu, teman, dan ketabahan dalam belajar;
4. menghormati ilmu dan ulama;
5. ketekunan, kontinuitas dan cita-cita luhur;
6. permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya;
7. tawakal kepada Allah swt.;
8. masa belajar;
9. kasih sayang dan memberi nasihat;
10. mengambil pelajaran;
11. wara’ (menjaga diri dari yang subhat dan haram) pada masa belajar;
12. penyebab hafal dan lupa;
13. masalah rizki dan umur.
Dalam buku The Muslim Thoeries of Education During The Middle Ages, Abdul Muidh Khan menyimpulkan ketiga belas bagian tersebut dalam tiga cakupan besar, yaitu, the devision of knowledge, the purpose of learning, dan the method of study (Abudin Nata, 2000).
a. Pembagian Ilmu
Al Zarnuji membagi ilmu pengetahuan dalam empat kategori. Pertama, ilmu fardhu ‘ain yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim secara individual. Hal ini berdasarkan hadist nabi tentang mencari ilmu. “Mencari ilmu wajib bagi setiap muslim dan muslimah”. Adapun kewajiban menuntut ilmu yang pertama kali harus dilaksanakan adalah mempelajari ilmu tauhid baru kemudian ilmu lainnya. Kedua, Ilmu fardhu kifayah yaitu ilmu yang kebutuhannya hanya dalam saat-saat tertentu saja seperti ilmu shalat jenazah. Selain itu seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi juga masuk kategori fardhu kifayah. Ketiga, ilmu haram yaitu ilmu yang haram untuk dipelajari seperti ilmu nujum yang digunakan untuk meramal. Keempat, ilmu jawaz yaitu ilmu yang hokum mempelajarinya boleh karena bermanfaat bagi manusia, seperti ilmu kedokteran.[6]
b. Niat dan Tujuan Belajar
Mengenai niat dan tujuan belajar, al Zarnuji mengatakan bahwa niat yang benar dalam belajar adalah untuk mencari keridhaan Allah swt., memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam, dan mensyukuri nikmat Allah swt.
Sehubungan dengan hal ini, al Zarnuji mengingatkan agar setiap penuntut ilmu tidak sampai keliru menentukan niat dalam belajar, misalnya belajar diniatkan untuk mencari pengaruh, mendapatkan kenikmatan duniawi atau kehormatan dan kedudukan tertentu. Jika masalah niat ini sudah benar, tentu ia akan merasakan kelezatan ilmu dan amal serta berkuranglah kecintaannya pada harta dunia, sebagaimana hadis, “sesungguhnya pokok dari semua pekerjaan bergantung kepada niat”.
عن علقمة بن وقاص الثلي سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر قال سمعت رسول الله ص-م يقول إنما الأعمال بالنيات وإنمالكل امرئ مانوى فمن كانت هجرته دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هجر إليه
Hadist nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh al Qomah bin Waqosh al Laitsi bahwa ia berkata ; aku mendengar Umar bin Khatab ra. Bawha ia berkata diatas mimbar; aku mendengar rasulallah saw bersabda : “tiap-tiap amal perbuatan harus disetai dengan niat, balasan bagi setiap amal tergantung kepada yang diniatkan. Barang siapa yang berhijrah untuk dunia atau istri yang dinikahinya maka hijrahnya sesuai dengan yang diniatkannya”.[7]
c. Metode Pembelajaran
Dalam kitab Ta’lim Muta’alim al Zarnuji menjelaskan bahwa metode pembelajaran meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik mencakup niat dalam belajar. Kedua, metode bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman, dan langkah-langkah dalam belajar.
Cara memilih pelajaran; bagi orang yang mencari ilmu sebaiknya mendahulukan memilih/mempelajari ilmu yang dibutuhkan dalam urusan-urusan agamanya, seperti ilmu tauhid. Kemudian, cara memilih guru; sebaiknya memilih guru yang lebih alim, wara’ dan umurnya lebih tua. Lalu, memilih teman; mencari teman yang rajin, wara’ dan berwatak baik, mudah faham akan pelajaran, tidak malas, tidak banyak bicara dsb. Adapun langkah-langkah dalam belajar al Zarnuji dalam hal ini mengkhususkan pada aspek teknik pembelajaran, menurut Grunebaum dan Abel, terdapat enam hal yang menjadi sorotan al Zarjuni yaitu the curriculum and subject matter, the choice of setting and teacher, the time for study, dynamic of learning and the student’s relationship to other.[8]
d. Pemikiran al Zarnuji tentang pola Hubungan Guru dan Murid
Ada beberapa pemikiran al Zarnuji dalam Ta’lim Muta’allim yang memberi acuan terhadap pola hubungan guru dan murid, yaitu sebagai berikut:
Murid tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat tanpa adanya pengagungan dan pemuliaan terhadap ilmu dan orang yang mengajarnya (guru), menjadi semangat dan dasar adanya penghormatan murid terhadap guru. Posisi guru yang mengajari ilmu – walaupun hanya satu huruf – dalam konteks keagamaan disebut sebagai bapak spiritual, sehingga kedudukan guru sangat terhormat dan tinggi, yang memberi konsekuensi bagi sikap dan perilaku murid sebagai manifestasi penghormatan terhadap guru baik dalam lingkungan formal maupun nonnformal. Sementara tingginya ilmu yang dimiliki oleh guru, menjadikan fungsi guru seperti dokter, menunjukan nilai kepercayaan dan pentingnya nasihat bagi murid dalam mencapai tujuan belajar yang optimal.
Kontekstualisasi hubungan guru dan murid, menurut al Zarnuji, menunjukan bahwa penempatan guru pada posisi terhormat terkait oleh sosok guru yang ideal. Yaitu guru yang memenuhi kriteria dan kualifikasi kepribadian sebagai guru yang memiliki kecerdasan ruhaniah dan tingkat kesucian tinggi, disamping kecerdasan intelektual. Dalam bahasa al Zarnuji, guru ideal adalah guru yang alim, wira’i dan mempunyai kesalehan sebagai aktualisasi keilmuan yang dimiliki serta tanggung jawab terhadap amanat yang diemban untuk menggapai ridho Allah swt.
Dengan demikian, pemikiran al Zarnuji berupaya membawa lingkungan belajar pada tingkat ketekunan dan kewibawaan guru dalam ilmu dan pengajarannya. Sedangkan murid sebagai individu yang belajar, menunjukan keseriusan dan kesungguhan dalam belajar sebagai manifestasi daya juang dalam pencapaian ilmu yang diajarkan oleh guru dalam rangka mencari ridho Allah swt., dan untuk menuai kemanfaatannya. Karena itu, pola hubungan guru murid yang tercipta adalah pola hubungan timbal balik yang menempatkan posisi guru murid sesuai proporsi masing-masing menuju tercapainya tujuan pendidikan yang optimal, yaitu terbentuknya pribadi yang berakhlaqul karimah.
Kontekstualisasi terhadap hubungan guru murid saat sekarang adalah pemahaman terhadap pemikiran al Zarnuji yang signifikan yang bernafas pada religius ethics. Dengan mengambil nilai-nilai dan pesan yang terkandung dalam pemikiran al Zarnuji tersebut, berarti kita telah menggali dan menghidupkan kembali nilai-nilai etika dalam proses pendidikan dan sekaligus menjadikannya sebagai dasar pembentukan akhlak dan landasan dalam membina hubungan yang harmonis antara guru dengan murid yang berorientasi pada hubungan yang etis-humanis.[9]
E. Penutup
Demikian penjabaran makalah sederhana ini, al Zarnuji adalah tokoh pendidikan yang keberadaannya tidak pernah padam untuk selalu menghiasi warna kehidupan bahkan bisa jadi pemikiran pendidikannya yang nota bene lebih menitik beratkan pada tauhid dan kehidupan bermoral adalah pilihan untuk saat ini.
[1] Departemen Agama Republik
[2] Mansour Ahmad, Islamic Education, (New Delhi : Qazi Publishers Distributors, 1994), h. 4
[3] Drs. H. Baharuddin, M.Pd.I., Esa Nur Wahyuni, M.Pd., Teori Belajar dan Pembelajaran, (
[4] Ibid. h.49-50
[5] Ibid h. 51
[6] Ibid h.53
[7] Ibnu Hajar al Asqolani, Terjm. Ghozirah Abdi Ummah, Fathul Bari, Jilid I, (Jakarta: Pustaka Azam, 2002) h. 17
[8] Drs. H. Baharuddin, M.Pd.I., Esa Nur Wahyuni, M.Pd., Op.cit., h. 54 - 55
[9] Ibid h. 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar