Jumat, 02 Juli 2010

Kraken - Sang penguasa lautan


Mungkin tidak ada monster legendaris yang lebih mengerikan dibandingkan dengan Kraken, penguasa lautan yang membuat para pelaut bergidik ketakutan. Apa yang menarik dari legenda Kraken adalah adanya kemungkinan kalau legenda ini mungkin memang berdasarkan pada sesuatu yang nyata.


Kraken adalah seekor monster yang digambarkan sebagai makhluk raksasa yang berdiam di lautan wilayah Islandia dan Norwegia. Makhluk ini disebut sering menyerang kapal yang lewat dengan cara menggulungnya dengan tentakel raksasanya dan menariknya ke bawah.

Kata Kraken sendiri berasal dari Kata "Krake" dari bahasa Skandinavia yang artinya merujuk kepada hewan yang tidak sehat atau sesuatu yang aneh. Kata ini masih digunakan di dalam bahasa jerman modern untuk merujuk kepada Gurita.

Begitu populernya makhluk ini sampai-sampai ia sering disinggung di dalam film-film populer seperti Pirates of the Caribbean atau Clash of The Titans. Jika ada makhluk raksasa penguasa lautan, maka Krakenlah namanya.

Karakter Kraken
Kita mungkin mengira Kraken hanyalah sebuah bagian dari dongeng, namun sebenarnya tidak demikian. Sebutan Kraken pertama kali muncul dalam buku Systema Naturae yang ditulis Carolus Linnaeus pada tahun 1735.

Mr. Linnaeus adalah orang yang pertama kali mengklasifikasi makhluk hidup ke dalam golongan-golongannya. Dalam bukunya itu, ia mengklasifikasikan Kraken ke dalam golongan Chepalopoda dengan nama latin Microcosmus. Jadi, boleh dibilang kalau Kraken memiliki tempat di dalam sains modern.

Erik Ludvigsen Pontopiddan, Uskup Bergen yang juga seorang naturalis, pernah menulis di dalam bukunya Natural History of Norway yang terbit tahun 1752 kalau Kraken "tidak bisa disangkal, adalah monster laut terbesar yang pernah dikenal".

Menurut Pontopiddan, Kraken memiliki ukuran sebesar sebuah pulau yang terapung dan memiliki tentakel seperti bintang laut. Ia juga menyebutkan kalau makhluk ini bisa menggulung kapal yang lewat dengan tentakelnya dan menariknya ke dasar lautan. Namun, menurut Pontopiddan, bahaya terutama dari Kraken adalah riak air yang dashyat ketika ia menyelam ke dalam laut. Riak itu bisa menenggelamkan kapal yang ada di dekatnya.

Menariknya, selain menggambarkan Kraken sebagai makhluk yang berbahaya, Pontopiddan juga menulis mengenai sisi lain dari makhluk misterius ini. Ia menyebutkan kalau ikan-ikan di laut suka berada di dekat Kraken. Karena itu juga, para nelayan Norwegia yang mengetahui hal ini suka mengambil risiko untuk menangkap ikan dengan membawa kapalnya hingga berada tepat di atas Kraken.

Jika mereka pulang dengan membawa hasil tangkapan yang banyak, para penduduk desa tahu kalau para nelayan tersebut pastilah telah menangkap ikan tepat di atas Kraken.

Sejak lama, makhluk ini hanya dianggap sebagai bagian dari Mitologi kuno yang setara dengan sebuah dongeng. Namun ketika sisa-sisa bangkai monster ini terdampar di pantai Albaek, Denmark, Pada tahun 1853, para ilmuwan mulai menyadari kalau legenda mengenai Kraken mungkin memang berdasarkan pada sesuatu yang nyata, yaitu cumi-cumi raksasa (Giant Squid), cumi-cumi kolosal (Colossal Squid) atau Gurita raksasa (Giant Octopus).

Seberapa besarkan seekor cumi atau gurita bisa bertumbuh?

Benarkan mereka bisa menyerang sebuah kapal besar seperti yang digambarkan di film-film?

Penampakan Signifikan
Pada tahun 1801, Pierre Denys de Montfort yang menyelidiki subjek mengenai Kraken menemukan kalau di Kapel St.Thomas di St.Malo, Brittany, Perancis, ada sebuah lukisan yang menggambarkan seekor gurita raksasa sedang menyerang sebuah kapal dengan cara menggulungnya dengan tentakelnya. Insiden yang tergambar dalam lukisan tersebut ternyata berdasarkan pada peristiwa nyata.

Dikisahkan kalau kapal tersebut adalah kapal Norwegia yang sedang berada di lepas pantai Angola. Ketika mendapatkan serangan tak terduga tersebut, para pelaut di atas kapal lalu membuat sebuah kaul untuk St.Thomas yaitu jika mereka dapat terlepas dari bahaya ini, mereka akan melakukan perjalanan ziarah.

Para awak kapal kemudian mengambil kapak dan mulai melawan monster itu dengan memotong tentakel-tentakelnya. Monster itupun pergi. Sebagai pemenuhan atas kaul itu, para awak kemudian mengunjungi Kapel St.Thomas di Britanny dan menggantung lukisan itu sebagai ilustrasi atas peristiwa yang menimpa mereka.

Sayangnya, peristiwa yang menimpa para pelaut itu tidak diketahui persis tahun terjadinya. Namun, paling tidak, penyerangan monster raksasa terhadap sebuah kapal tidak bisa dibilang sebagai mitos semata.

Selain kisah lukisan di Kapel St.Thomas, Mr.Monfort juga menceritakan perjumpaan lain dengan makhluk serupa cumi atau gurita raksasa yang dialami oleh kapten Jean-Magnus Dens dari Denmark yang bertemu dengan makhluk itu juga di lepas pantai Angola. Makhluk raksasa itu menyerang kapal mereka dan bahkan berhasil membunuh tiga awaknya.

Para awak kapal yang lain tidak tinggal diam dan segera mengambil meriam dan menembakkannya ke monster itu berulang-ulang hingga ia menghilang ke dalam lautan.

Kapten Dens memperkirakan monster itu memiliki panjang 11 meter.

Kisah lain terjadi pada tanggal 30 November 1861. Ketika sedang berlayar di kepulauan Canary, para awak kapal Perancis, Alencton, menyaksikan seekor monster laut raksasa berenang tidak jauh dari kapal. Para pelaut segera menyiapkan peluru dan mortir yang kemudian ditembakkannya ke arah monster itu.

Monster yang ketakutan dengan segera berenang menjauh. Namun, kapal Alencton segera diarahkan untuk mengejarnya. Ketika mereka berhasil mendekatinya, garpu-garpu besi segera dihujamkan ke tubuh monster itu dan jaring segera dilemparkan. Ketika para awak mengangkat jaring itu, tubuh monster itu patah dan hancur yang kemudian segera jatuh ke dalam air dengan menyisakan hanya sebagian dari tentakelnya.

Ketika kapal itu mendarat dan tentakel itu diperlihatkan kepada komunitas ilmuwan, mereka sepakat kalau para awak kapal mungkin telah menyaksikan seekor cumi raksasa dengan panjang sekitar 8 meter.

Pada bulan Oktober 1873, seorang nelayan bernama Theophile Piccot dan anaknya berhasil menemukan tentakel cumi raksasa di Newfoundland. Setelah diukur, para peneliti menyimpulkan kalau hewan itu kemungkinan memiliki panjang hingga 11 meter.

Pada tahun 1924, Frank T.Bullen menerbitkan sebuah buku yang berjudul The Cruise of the Chacalot. Dalam buku ini, Bullen menceritakan sebuah kisah luar biasa yang disebut terjadi pada tahun 1875. Kisah ini membuat Kraken mendapatkan musuh abadinya, yaitu Paus Penyembur (Sperm Whale).

Menurut Bullen, pada tahun 1875 ia sedang berada di sebuah kapal yang sedang berlayar di selat Malaka. Ketika malam bulan purnama, ia melihat ada sebuah riakan besar di air.
"Ada gerakan besar di dalam laut saat purnama. Aku meraih teropong malam yang selalu siap di gantungannya. Aku melihat seekor paus penyembur besar sedang terlibat perang hebat dengan seekor cumi-cumi yang memiliki tubuh hampir sebesar paus itu. Kepala paus itu terlihat lincah seperti tangan saja layaknya. Paus itu terlihat sedang menggigit tentakel cumi itu dengan sistematis. Di samping kepalanya yang hitam, juga terlihat kepala cumi yang besar. Mengerikan, aku tidak pernah membayangkan ada cumi dengan kepala sebesar itu."
Mendengar kesaksian Bullen, kita mungkin tergoda untuk mengatakan kalau ia membesar-besarkan atau mungkin mengarangnya saja. Namun, pada Oktober 2009, komunitas ilmuwan menyadari kalau kisah yang diceritakan Bullen mungkin memang bukan sekedar cerita fiksi. Cumi raksasa memang bermusuhan dengan Paus Penyembur.

Di wilayah perairan di pulau Bonin di Jepang, para peneliti kelautan berhasil mendapatkan foto-foto langka yang memperlihatkan seekor paus penyembur sedang menyantap seekor cumi raksasa yang diperkirakan memiliki panjang 9 meter.


Dendam lama tidak pernah berakhir.

Giant Squid, Colossal Squid dan Giant Octopus
Sekarang, mari kita sedikit mengenal lebih jauh tiga teman raksasa kita yang mungkin telah memicu legenda Kraken. Saya akan mulai dari Giant Squid atau Cumi raksasa.

Giant Squid atau Cumi-cumi raksasa
Giant Squid atau cumi-cumi raksasa yang berasal dari genus Architeuthis ini memiliki 8 spesies dan diketahui bisa memiliki panjang hingga 13 meter bagi yang betina dan 10 meter untuk yang jantan. Ukuran ini dihitung dari sirip caudal hingga ujung tentakelnya. Namun, ukuran cumi ini bisa jadi lebih besar daripada yang diperkirakan.

Pada tahun 1880, potongan tentakel ditemukan di Selandia Baru dan diperkirakan merupakan milik dari cumi raksasa yang memiliki panjang 18 meter. Ukuran yang sangat luar biasa!


Ide kalau seekor cumi raksasa bisa menenggelamkan sebuah kapal mungkin terdengar mengada-ngada pada zaman ini. Namun, pada abad pertengahan, ukuran kapal tidak sebesar yang kita miliki sekarang. Contohnya, kapal Columbus yang bernama Pinta hanya memiliki panjang 18 meter. Sebuah cumi sepanjang 10-15 meter sudah bisa dipastikan dapat menyerang dan menenggelamkan kapal ini dengan mudah.


Perilaku giant Squid ini hampir tidak pernah dikenal sebelumnya hingga pada tahun 2004 ketika para ilmuwan Jepang berhasil mendapatkan 556 foto makhluk ini dalam keadaan hidup. Cumi-cumi tersebut terperangkap dalam sebuah jebakan yang dibuat. Ketika ia berhasil lolos, salah satu tentakelnya yang memiliki panjang 5,5 meter putus. Dari panjang ini, para ilmuwan tersebut memperkirakan kalau makhluk itu memiliki panjang 8 meter.

Colossal Squid atau Cumi Kolosal
Apabila kita mengira Cumi raksasa sudah memiliki ukuran yang luar biasa, maka, perkenalkan makhluk yang satu ini, Colossal Squid atau Cumi kolosal.

Makhluk ini memiliki nama latin Mesonychoteuthis hamiltoni dan para ilmuwan percaya kalau makhluk ini bisa bertumbuh hingga paling tidak memiliki panjang 14 meter. Ini membuatnya menjadi hewan invertebrata terpanjang di dunia. Walaupun demikian, para ilmuwan tidak bisa memastikan hingga seberapa panjang hewan ini bisa bertumbuh.

Mengenai Colossal Squid, Dr.Steve O'Shea, ahli cumi dari Auckland University berkata:
"Sekarang kita tahu kalau makhluk ini memiliki ukuran yang lebih besar dibanding Giant Squid. Giant Squid bukan lagi cumi terbesar di luar sana. Sekarang kita memiliki sesuatu yang lebih besar. Bahkan bukan cuma sekedar besar, tetapi benar-benar jauh lebih besar."


Colossal Squid di foto di atas ditangkap di Laut Ross dan memiliki panjang mantel 2,5 meter. Ukuran ini termasuk luar biasa karena Giant Squid terbesar yang diketahui hanya memiliki panjang mantel 2,25 meter. Lagipula, Colossal Squid di atas dipercaya masih dapat bertambah panjang hingga mencapai ukuran yang jauh lebih besar.

Jika ada Kraken di luar sana, maka bisa dipastikan kalau Colossal Squid adalah tersangka paling utamanya.

Lalu, apa bedanya Giant Squid dan Colossal Squid?

Giant Squid hanya memiliki tentakel yang memiliki lubang penghisap dan gigi-gigi kecil, sedangkan Colossal Squid memiliki tentakel yang juga dilengkapi dengan kait yang tajam. Beberapa kait bahkan memiliki 3 ujung.

Selain dua jenis Cumi-cumi di atas, makhluk yang satu ini juga memiliki tentakel dan bisa bertumbuh dalam ukuran yang luar biasa, yaitu Giant Octopus.

Giant Octopus atau Gurita Raksasa
Giant Octopus atau gurita raksasa bisa bertumbuh hingga memiliki panjang 9 meter. Panjang ini cukup membuatnya menjadi monster yang ditakuti oleh para pelaut. Makhluk inilah yang dipercaya Monfort sebagai monster yang menyerang para pelaut Norwegia di lepas pantai Angola yang lukisannya tergantung di Kapel St.Thomas.

Bangkai ini terdampar di pantai St.Augustine, Florida tahun 1896. Dipercaya sebagai Giant Octopus



Pada masa kini, teori mengenai Cumi atau Gurita raksasa dianggap sebagai penjelasan yang paling masuk akal mengenai legenda Kraken.

Jika kita beranggapan kalau legenda Eropa yang mengatakan kalau Kraken memiliki ukuran sebesar sebuah pulau sebagai "membesar-besarkan", maka mungkin misteri Kraken memang sudah terpecahkan.

Tetapi, bagaimana kita bisa memastikannya?

Senin, 28 Juni 2010

Saripati Pendidikan Klasik

AL ZARNUJI

TOKOH PENDIDIKAN PERIODE 750 – 1250 M

Oleh : Ohan Supriatna

A. Pendahuluan

Allah swt berfirman dalam al Qur’an surat al-Mujadalah ayat 1:

Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[1]

Sejarah perkembangan pendidikan Islam, telah muncul seiring perkembangan itu sendiri, di mana kehadirannya telah menanamkan nilai-nilai ajaran Islam. Seiring perkembangan Islam dan terbentuknya Masyarakat Islam, mesjid-mesjidpun mengembangkan peranannya menjadi pusat pengembangan pendidikan Islam yang dalam pelaksanaannya dikembangkan dalam bentuk halaqah (learning Circle).

Sistem pendidikan bagi umat Islam mengoperasikan bidang kegamaan, spiritul, sosial dan politik. Sistem nilai Islam tersebut telah menciptakan beberapa perbedaan dasar antara sistem pendidikan Islam dan modern baik di Timur maupun di Barat.[2]

Klasifikasi perkembangan pendidikan islam menurut Harun Nasution terbagi kedalam tiga periode yaitu zaman klasik berlangsun sejak awal kemajuan Islam (650-1000 M), hingga masa disintegrasi (1000 M-1250 M) yaitu dari zaman Nabi Muhammad SAW., sampai runtuhnya bani Abbasiyyah.

Zaman pertengahan berlangsung dari zaman kemunduran (1250-1500 M), masa ketiga kerjan Mongol Utsmani dan Safawi (1500-1700 M), dan masa kemunduran II (1799-1800 M) yang sejak runtuhnya bani Abbsiyyah ssampai antara abad 17 dan 18 Hijriyah Pada Abad pertengahan ini yang banyak berperan dalam bidang pendidikan adalah Sulthan Mahmud II, beliau terkenal dengan pelopor pembaruan pendidikan.

Zaman Modern (kontemporer)/zaman pembaruan, berlangsung dari tahun 1800 hingga sekarang, yang ditandai dengan pergolakan dan kebangkitan Umat Islam diseluruh dunia. Pada zaman modern ini yaitu sejak abad 18 H, 19 H sampai sekarang. Pola pembaharuan pendidikan dirintis oleh Muhammad bin Abdul al-Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh (akhir abad -19 H). dalam pembabakan ini sifatnya harus muthlak demikian. Akan tetapi pembabakan ini dimaksudkan untuk mempermudah memahami dari sehi sejarah secara kronologis.

Dalam makalah ini kami akan membahas pemikiran pendidikan pada zaman klasik dengan tokoh yang menjadi sorotan utama adalah Burhanuddin al Islam al Zarnuji. Walaupun secara langsung biografi kelahirannya tidak dapat diketahui secara pasti namun yang jelas beliau menghiasi indahnya dunia serta memberi warna dengan corak sumbang sih pemikirannya sekitar tahun 750 – 1250 M.[3]

B. Riwayat Hidup

Al Zarnuji mempunyai nama lengkap Burhanuddin al Islam al Zarnuji. Tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti, namun tanggal wafatnya terdapat dua pendapat. Ada yang mengatakan beliau wafat pada 591 H/1195 M, dan yang lain mengatakan beliau wafat pada 840 H / 1243 M (Abudin Nata, 2000). Hidup beliau semasa dengan Ridho al Din al Naisaburi, antara tahun 500 – 600 H. tidak ada keterangan yang pasti mengenai tempat kelahirannya. Namun melihat dari nisbahnya, al Zarnuji berdasarkan data dari para peneliti mengatakan bahwa beliau berasal dari Zarnuji, suatu daerah yang dikenal hingga kini dengan nama Afghanistan.

Al Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkand, dua kota yang menjadi pusat keilmuan dan pengajaran. Saat itu masjid-masjid di kedua kota itu dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan ta’lim yang diasuh antara lain oleh Burhanuddin al Marghinani, Syamsuddin Abd al Wajdi Muhammad bin Muhammad bin Abd, dan al Sattar al Amidi. Selain itu, al Zarnuji juga belajar pada Rukn al Din al Firqinani, seorang ahli fiqih, sastrawan dan penyair (w.594 H / 1196 M), Hammad bin Ibrahim, seorang ahli ilmu kalam, sastrawan dan penyair (w. 564 H / 1170 M), dan Rukn al Islam Muhammad bin Abi Bakar yang dikenal dengan nama Khawahir Zada, seorang mufti Bukhara dan ahli dalam bidang fiqh, sastra dan syair (w.573 H / 1177 M)

Al Zarnuji selain ahli dibidang pendidikan dan tasawuf juga menguasai bidang-bidang lain seperti sastra, fiqh, ilmu kalam dan sebagainya.[4]

C. Situasi Pendidikan pada Masa al Zarnuji

Dalam sejarah pendidikan Islam, terdapat lima tahap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan. Pertama, pendidikan pada masa nabi Muhammad saw (571–632 M). Kedua, pendidikan pada masa khulafaurrosiddin (632-661 M). Ketiga, pendidikan pada masa bani Umayyah di Damsyik (661– 750 M). Keempat, pendidikan pada masa jatuhnya kholifah di Baghdad (1250-1800 M). Kelima, pendidikan pada masa modern (1800-sekarang).

Dari periodisasi di atas, al Zarnuji hidup pada masa keempat dari periode pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, antara 750-1250 M. Dalam catatan sejarah, periode ini merupakan zaman keemasan peradaban Islam, terutama dalam bidang pendidikan Islam. Pada masa itu kebudayaan Islam berkembang pesat dengan ditandai oleh tumbuhnya berbagai lembaga pendidikan, mulai tingkat dasar sampai dengan tingkat perguruan tinggi. Diantaranya adalah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizham al Mulk (457 H/1106 M), Madrasah al Nuriyah al Kubra, didirikan oleh Nuruddin Muhammad Zanki (563 H/1167 M), Madrasah al Mustansyiroh didirikan oleh kholifah Abbasyiah al Mustansir Billah di Baghdad (631 H / 1234 M).

Selain ketiga madrasah tersebut, masih banyak lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang pesat pada zaman al Zarnuji. Dengan informasi tersebut, tampak jelas bahwa beliau hidup pada masa ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam mengalami puncak kejayaan, yaitu pada masa Abbasyiah yang ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir Islam ensiklopedik yang sukar ditandingi. Kondisi pertumbuhan dan perkembangan tersebut sangat menguntungkan bagi pembentukan al Zarnuji sebagai seorang ilmuwan atau ulama yang luas pengetahuannya.[5]

D. Konsep Pendidikan al Zarnuji

Konsep pendidikan al Zarnuji tertuang dalam karya monumentalnya, kitab “Ta’lim al Muta’allim Thuruq al Ta’allum“. Kitab ini diakui sebagai karya monumental dan diperhitungkan keberadaannya terbukti para peneliti dan ilmuan muslim maupun orientalis menjadikan kitab tersebut sebagai salah satu rujukan.

Kemudian selain dari pada itu, content/isi dari kitab ta’lim tersebut kalau diibaratkan seperti sebuah cabai rawit kecil tapi pedas, artinya tidak hanya metode belajar tetapi juga tujuan, prinsip-prinsip dan strategi belajar yang terkandung dalam kitab tersebut didasarkan pada moral religius. Bahkan di negara kita Indonesia setiap lembaga pendidikan klasik maupun modern seperti pesantren tidak pernah ada yang meninggalkan mengkaji dan menjadikan kitab ta’lim sebagai salah satu pegangan dalam mengarungi samudra kehidupan.

Dari pembahasan kitab ini dapat diketahui tentang konsep pendidikan Islam yang dikemukakan al Zarnuji, antara lain:

1. pengertian ilmu dan keutamaannya;

2. niat belajar;

3. memilih guru, ilmu, teman, dan ketabahan dalam belajar;

4. menghormati ilmu dan ulama;

5. ketekunan, kontinuitas dan cita-cita luhur;

6. permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya;

7. tawakal kepada Allah swt.;

8. masa belajar;

9. kasih sayang dan memberi nasihat;

10. mengambil pelajaran;

11. wara’ (menjaga diri dari yang subhat dan haram) pada masa belajar;

12. penyebab hafal dan lupa;

13. masalah rizki dan umur.

Dalam buku The Muslim Thoeries of Education During The Middle Ages, Abdul Muidh Khan menyimpulkan ketiga belas bagian tersebut dalam tiga cakupan besar, yaitu, the devision of knowledge, the purpose of learning, dan the method of study (Abudin Nata, 2000).

a. Pembagian Ilmu

Al Zarnuji membagi ilmu pengetahuan dalam empat kategori. Pertama, ilmu fardhu ‘ain yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim secara individual. Hal ini berdasarkan hadist nabi tentang mencari ilmu. Mencari ilmu wajib bagi setiap muslim dan muslimah”. Adapun kewajiban menuntut ilmu yang pertama kali harus dilaksanakan adalah mempelajari ilmu tauhid baru kemudian ilmu lainnya. Kedua, Ilmu fardhu kifayah yaitu ilmu yang kebutuhannya hanya dalam saat-saat tertentu saja seperti ilmu shalat jenazah. Selain itu seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi juga masuk kategori fardhu kifayah. Ketiga, ilmu haram yaitu ilmu yang haram untuk dipelajari seperti ilmu nujum yang digunakan untuk meramal. Keempat, ilmu jawaz yaitu ilmu yang hokum mempelajarinya boleh karena bermanfaat bagi manusia, seperti ilmu kedokteran.[6]

b. Niat dan Tujuan Belajar

Mengenai niat dan tujuan belajar, al Zarnuji mengatakan bahwa niat yang benar dalam belajar adalah untuk mencari keridhaan Allah swt., memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam, dan mensyukuri nikmat Allah swt.

Sehubungan dengan hal ini, al Zarnuji mengingatkan agar setiap penuntut ilmu tidak sampai keliru menentukan niat dalam belajar, misalnya belajar diniatkan untuk mencari pengaruh, mendapatkan kenikmatan duniawi atau kehormatan dan kedudukan tertentu. Jika masalah niat ini sudah benar, tentu ia akan merasakan kelezatan ilmu dan amal serta berkuranglah kecintaannya pada harta dunia, sebagaimana hadis, “sesungguhnya pokok dari semua pekerjaan bergantung kepada niat”.

عن علقمة بن وقاص الثلي سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر قال سمعت رسول الله ص-م يقول إنما الأعمال بالنيات وإنمالكل امرئ مانوى فمن كانت هجرته دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هجر إليه

Hadist nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh al Qomah bin Waqosh al Laitsi bahwa ia berkata ; aku mendengar Umar bin Khatab ra. Bawha ia berkata diatas mimbar; aku mendengar rasulallah saw bersabda : “tiap-tiap amal perbuatan harus disetai dengan niat, balasan bagi setiap amal tergantung kepada yang diniatkan. Barang siapa yang berhijrah untuk dunia atau istri yang dinikahinya maka hijrahnya sesuai dengan yang diniatkannya”.[7]

c. Metode Pembelajaran

Dalam kitab Ta’lim Muta’alim al Zarnuji menjelaskan bahwa metode pembelajaran meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik mencakup niat dalam belajar. Kedua, metode bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman, dan langkah-langkah dalam belajar.

Cara memilih pelajaran; bagi orang yang mencari ilmu sebaiknya mendahulukan memilih/mempelajari ilmu yang dibutuhkan dalam urusan-urusan agamanya, seperti ilmu tauhid. Kemudian, cara memilih guru; sebaiknya memilih guru yang lebih alim, wara’ dan umurnya lebih tua. Lalu, memilih teman; mencari teman yang rajin, wara’ dan berwatak baik, mudah faham akan pelajaran, tidak malas, tidak banyak bicara dsb. Adapun langkah-langkah dalam belajar al Zarnuji dalam hal ini mengkhususkan pada aspek teknik pembelajaran, menurut Grunebaum dan Abel, terdapat enam hal yang menjadi sorotan al Zarjuni yaitu the curriculum and subject matter, the choice of setting and teacher, the time for study, dynamic of learning and the student’s relationship to other.[8]

d. Pemikiran al Zarnuji tentang pola Hubungan Guru dan Murid

Ada beberapa pemikiran al Zarnuji dalam Ta’lim Muta’allim yang memberi acuan terhadap pola hubungan guru dan murid, yaitu sebagai berikut:

Murid tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat tanpa adanya pengagungan dan pemuliaan terhadap ilmu dan orang yang mengajarnya (guru), menjadi semangat dan dasar adanya penghormatan murid terhadap guru. Posisi guru yang mengajari ilmu – walaupun hanya satu huruf – dalam konteks keagamaan disebut sebagai bapak spiritual, sehingga kedudukan guru sangat terhormat dan tinggi, yang memberi konsekuensi bagi sikap dan perilaku murid sebagai manifestasi penghormatan terhadap guru baik dalam lingkungan formal maupun nonnformal. Sementara tingginya ilmu yang dimiliki oleh guru, menjadikan fungsi guru seperti dokter, menunjukan nilai kepercayaan dan pentingnya nasihat bagi murid dalam mencapai tujuan belajar yang optimal.

Kontekstualisasi hubungan guru dan murid, menurut al Zarnuji, menunjukan bahwa penempatan guru pada posisi terhormat terkait oleh sosok guru yang ideal. Yaitu guru yang memenuhi kriteria dan kualifikasi kepribadian sebagai guru yang memiliki kecerdasan ruhaniah dan tingkat kesucian tinggi, disamping kecerdasan intelektual. Dalam bahasa al Zarnuji, guru ideal adalah guru yang alim, wira’i dan mempunyai kesalehan sebagai aktualisasi keilmuan yang dimiliki serta tanggung jawab terhadap amanat yang diemban untuk menggapai ridho Allah swt.

Dengan demikian, pemikiran al Zarnuji berupaya membawa lingkungan belajar pada tingkat ketekunan dan kewibawaan guru dalam ilmu dan pengajarannya. Sedangkan murid sebagai individu yang belajar, menunjukan keseriusan dan kesungguhan dalam belajar sebagai manifestasi daya juang dalam pencapaian ilmu yang diajarkan oleh guru dalam rangka mencari ridho Allah swt., dan untuk menuai kemanfaatannya. Karena itu, pola hubungan guru murid yang tercipta adalah pola hubungan timbal balik yang menempatkan posisi guru murid sesuai proporsi masing-masing menuju tercapainya tujuan pendidikan yang optimal, yaitu terbentuknya pribadi yang berakhlaqul karimah.

Kontekstualisasi terhadap hubungan guru murid saat sekarang adalah pemahaman terhadap pemikiran al Zarnuji yang signifikan yang bernafas pada religius ethics. Dengan mengambil nilai-nilai dan pesan yang terkandung dalam pemikiran al Zarnuji tersebut, berarti kita telah menggali dan menghidupkan kembali nilai-nilai etika dalam proses pendidikan dan sekaligus menjadikannya sebagai dasar pembentukan akhlak dan landasan dalam membina hubungan yang harmonis antara guru dengan murid yang berorientasi pada hubungan yang etis-humanis.[9]

E. Penutup

Demikian penjabaran makalah sederhana ini, al Zarnuji adalah tokoh pendidikan yang keberadaannya tidak pernah padam untuk selalu menghiasi warna kehidupan bahkan bisa jadi pemikiran pendidikannya yang nota bene lebih menitik beratkan pada tauhid dan kehidupan bermoral adalah pilihan untuk saat ini.



[1] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : CV. Toha Putra, 1989), h.

[2] Mansour Ahmad, Islamic Education, (New Delhi : Qazi Publishers Distributors, 1994), h. 4

[3] Drs. H. Baharuddin, M.Pd.I., Esa Nur Wahyuni, M.Pd., Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2008) h. 51

[4] Ibid. h.49-50

[5] Ibid h. 51

[6] Ibid h.53

[7] Ibnu Hajar al Asqolani, Terjm. Ghozirah Abdi Ummah, Fathul Bari, Jilid I, (Jakarta: Pustaka Azam, 2002) h. 17

[8] Drs. H. Baharuddin, M.Pd.I., Esa Nur Wahyuni, M.Pd., Op.cit., h. 54 - 55

[9] Ibid h. 56

Sabtu, 26 Juni 2010

URGENSI MENCARI TAFSIR MASA KINI


I. PENDAHULUAN

Semangat menarik, demikian komentar kita manakala membuka lembaran tulisan Muhammad Abdul Azim al-Zarqani yang menyingkap keadaan umat Islam masa kini. Ungkap beliau:

“…. keadaan umat Islam sekarang, bagaikan orang mati kehausan, padahal air ada di sampingnya atau seperti laron yang mati terbakar dalam api pelita, padahal kalau ia mau membuka mata dan menuruti petunjuk cahayanya, akan tahu kemana arah jalan yang harus ditempuh.” Hal ini dikarenakan umat Islam sekarang hanya puas dengan berkali-kali membaca lafaz al-qur’an dan asyik memperindah bacaannya I rumah, serta mencukupkan mengambil berkah dengan menyimpannya di rumah atau dibawa ke mana-mana, seolah-olah mereka lupa bagaimana cara mencari berkah terhadap al-Qur’an itu.” (al-zarqani, t.th. I:576).

Memang, bila disimak lebih jauh kondisi umat Islam sekarang boleh dikata perlu mendapat penanganan yang serius dan sungguh-sungguh, agar mereka secepatnya bangkit dari tidurnya yang teramat lelap. Usaha ini akan cepat terwujud, manakala urusan umat Islam pedomannya dikembalikan kepada aturan hidup yang abadi dari Sang Penciptanya. Alasannya adalah:

1. al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat manusia (QS. 2 al-Baqarah ; 185; 14 : 1). Kebenarannya bersifat mutlak (QS. 30 : 60). Karenanya merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar lagi bagi setiap muslim, untuk mengamalkan seluruh petunjuk al-Qur’an (QS. 5 : 10 ; 6 : 155). Kewajiban yang demikian itu, tentu akan terlaksana, tanpa terlebih dahulu memahami maksud yang terkandung di dalamnya.

2. al-Qur’an merupakan penjelasan atas segala sesuatu hal (QS. 16 : 89). Kandugan al-Qur’an bukan monodimensi, bukan satu bidang, tapi polidimensi, mengandung beragam bidang, meliputi: fenomena-fenomena yang multi faset, mengandung hal-hal yang bersifat: intelektual, spiritual, natural dan sosial.

Dengan multi dimensinya itu, dalam kenyataan tidak semua umat Islam mampu menagkap dan memahami isi kandungan al-Qur’an baik yang tersurat, terlebih yang tersirat. Kesulitan memahami al-Qur’an, bahkan dirasakan pula oleh orang Arab sendiri. Apalagi pada masa kini atau masa mendatang, pasca perkembangan sains dan teknologi. Bagaimanapun al-Qur’an tetap wajib dijadikan landasan hidup dan landasan peradaban umat manusia. Masalahnya adalah bagaimana upaya yang harus dilakukan agar umat manusia dalam hidup dan kehidupan selalu berpedoman dan berpijak pada nilai-nilai al-Qur’an. Terlebih, dengan menatap tantangan masa depan? Jawaban singkatnya ialah memahami isi kandungan al-Qur’an. Cukuplah sampai disini? Tentunya tidak! Karena, al-Qur’an bukan sebuah buku karangasn manusia, melainkan ia adalah Kitab Allah, Kitab Suci yang diturunkan langsung oleh Sang Maha Pencipta. Memahami isinya adalah sangat sulit. Oleh karena itu, bagaimana merumuskan bentuk penjelasan al-Qur’an yang relevan dengan masa kini?

II. UPAYA MENAFSIRKAN AL-QUR’AN

Dalam uapaya mencari penjelasan isi kandungan al-Qur’an, bahwa Rasulullah s.a.w. sesuai dengan salah satu tugas penting tentang pengertian atau makna-makna ayat-ayat al-Qur’an (walau tidak seluruhnya). Tindakan beliau dilanjutkan oleh ulama-ulama, para sahabat, tabi’in, dan setterusnya. Sampai akhirnya, muncul usaha dan upaya dari para ulama berikutnya, untuk melakukan kajian ilmiah dengan tujuan yang sama. Hasil usaha itulah yang dalam khazanah ilmu keislaman dikenal dengan “Tafsir al-Qur’an”. Yang menurut Imam az-Zarqani, ialah: “Suatu ilmu yang di dalamnya membahas al-Qur’an al-Karim dari segi penunjukannya (dalalah-nya) kepada apa yang dimaksud oleh Allah Ta’ala menurut kemampuan manusia”. (az-Zarqani, t.th. II : 3).

Bentuk tafsir (penjelasan) ayat al-Qur’an, kalau dilihat dari segi sumber penafsirannya, para mufassir (ulama ahli tafsir) mengelompokkannya ke dalam tiga macam, yaitu:

1. Tafsir riwayat (manqul), yang lazim disebut “Tafsir bil-ma’tsur”, yaitu salah satu bentuk penafsiran al-Qur’an yang menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, al-Hadis (sunnah) Rasulullah Saw., pendapat para sahabat, dan tabi’in sebagai sumber penjelasannya.

2. Tafsir dirayah (ma’qul) yang banyak dinamakan dengan tafsir bir-ra’yi, yaitu penafsiran al-Qur’an yang bertitik tolak dari hasil ijtihad dan pendapat mufassir sendiri sebagai bahan penjelasannya. Atau, penafsiran yang menggunakan segi-segi bahasa Arab.

3. Tafsir isyari (sufi), yaitu penafsiran al-Qur’an yang berlainan dengan zhahir ayat (makna lahir ayat), karena ada petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama atau hanya diketahui oleh orang-orang tertentu yang dikenal oleh Allah Swt. (para sufi). Atau penafsiran al-Qur’an yang berdasarkan makna batin (makna yang tersirat dari suatu lafaz/ayat).

A. TAFSIR YANG DITOLAK

Kalau dikaji bagaimana kedudukan ketiga bentuk tafsir di atas, serta bagaimana pula pandangan para ulama terhadapnya. Kemudian, diadakan studi banding (komparasi), manakah yang lebih baik untuk diterima dan sedikit dari penyimpangan? Maka, kedua macam tafsir: tafsir birra’yi dan tafsir isyari, lebih banyak yang mempertentangkannya, bahkan tafsir isyari ditolak oleh kebanyakan para ulama. (lihat: al-Suyuthi, 1979, II : 184-185).

Penyebab yang tajam antara menerima dan pihak yang menolak ini, karena tafsir bir-ra’yi yang sumber penafsirannya dipengaruhi oleh latar belakang pribadi mufassir-nya.

Bagi pihak yang menerima, memang alasannya cukup rasional serta didukung oleh nash-nash al-Qur’an dan al-Hadis. Demikian halnya, pihak yang menolak beragumen dengan dalil-dalil naqli juga aqli berdasarkan atas kepuasan dan pemahaman mereka. (al-Suyuti, 1979, II: 179-180).

Namun, bila diperhatikan antara pihak penerima dan penolak tafsir bir-ra’yi dan tafsir isyari, cukup banyak persyaratan yang harus dipenuhinya (lihat: Ash-Shabuni, 1984: 242). Bagi yang menerima keduanya, banyak hal dan permasalahan yang harus diperhatikannya. Sebagai akibatnya (adanya penolakan dan penerima), pada perkembangan selanjutnya, tafsir bir-ra’yi ini terbagi menjadi: tafsir bir-ra’yi al-mazmumah (tercela/tertolak), yaitu: tafsir bir-ra’yi yang tidak memenuhi syarat-syarat penafsiran atau tafsiran yang berdasarkan atas fanatisme mazhab. Oleh sebab itu, jumlah tafsir bir-ra’yi ini sangat banyak corak dan ragamnya. Seperti tafsir yang dipengaruhi oleh keyakinan (aqidah): Tafsir Mu’tazili, Syi’i, dan sebagainya. Tafsir yang dipengaruhi oleh mazhab fiqh: Tafsir Hanafi, Syafi’i, Maliki dan sebagainya. Dan, tafsir bir-ra’yi al-mahmudah, yaitu tafsir bir-ra’yi yang dapat diterima, tafsir al-Qur’an yang memenuhi persyaratan penafsirannya.

Keragaman bentuk tafsir di atas, menunjukkan bahwa semuanya itu menjurus kepada bentuk-bentuk penafsiran tersendiri dengan tetap memperlihatkan pengaruh latar belakang penulis tafsir tersebut. Kenyataan ini akan bertambah negatif, karena akan mengalahkan nilai keuniversalan al-Qur’an. Al-Qur’an akan dipaksa mengikuti kehendak suatu mazhab, atau suatu golongan, padahal al-Qur’an tidak diperuntukkan kepada suatu golongan atau mazhab tertentu, akan tetapi untuk semua umat manusia secara keseluruhan. Dengan demikian, penafsiran al-Qur’an dengan corak bagaimanapun harus dapat diterima oleh semua pihak serta semua golongan.

B. TAFSIR ISYARI LEBIH RUMIT

Begitu halnya dengan tafsir isyari, justru bentuk seperti ini lebih banyak yang mempertentangkannya. Kebanyakan para ulama menolaknya. Beberapa literatur menunjukkan, bahwa pembahasan tafsir isyari ini lebih rumit, memerlukan penyelidikan yang sungguh-sungguh, teratur serta memerlukan penyelesaian yang mendalam. As-Suyuthi mengkritik secara tajam, bahwa penafsiran al-Qur’an oleh para sufi bukanlah “Tafsir”. Ash-Shobuni menyimpulkan:

Tafsir isyari itu mempunyai segi kekuatan dari syara’, sayangnya telah kemasukan pena’wilan yang rusak yang telah dipergunakan oleh orang sebagaimana aliran kebatinan. Mereka tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan ulama, sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya semua orang berani mencecerkan Kitab Allah, menta’wilkan menurut pendiktean hawa nafsunya atau menurut bisikan Syaithan. (Ash-Shobuni, 1984 : 246).

Di sampig hal-hal di muka, yang merupakan kendala dalam tafsir bir-ra’yi atau dalam tafsir isyari, adalah cara pemahaman dari isi tafsiran itu. Karena kebanyakan tafsir bir-ra’yi dan tafsir isyari disusun dengan pola tahlili (menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an ayat demi ayat sesuai dengan sistematika/tertib ayat-ayat al-Qur’an). Dengan sistem seperti ini, akan sulit memahami suatu ayat, karena pembahasan suatu ayat atau suatu masalah tidak secara tuntas, bahkan tidak mustahil akan terjadi kontradiksi terhadap masalah yang sama, hanya karena tidak berada dalam suatu ayat atau suatu surat tertentu. Akibatnya, keuntasan pemahaman suatu ayat atau suatu masalah akan sulit didapatkan. Sebagai contoh, penafsiran kata “Ash-Shabi’un” (orang-orang Sabi’un), dalam surat 22 al-Hajj ayat 17 ditafsirkan oleh Imam Jalaluddin al-Mahalli adalah kelompok orang-orang Yahudi, sedang Imam Jalaluddin al-Suyuthi, dalam ayat 2 (al-Baqarah) ayat 62 menafsirkannya dengan kelompok dari orang-orang Nasrani. (lihat: al-Jalalah, t.th. I : 238).

C. BAGAIMANA DENGAN TAFSIR BIL-MA’TSUR ?

Tafsir bir-ra’yi ataupun tafsir bil-ma’tsur adalah hasil karya manusia yang tak luput dari kekurangan (ringan), serta dapat dicarikan alternatif pemecahannya. Di sini dapat pula diprediksi bahwa di dalam tafsir bil-ma’tsur pun terdapat kelemahan.

Kelemahan yang terdapat di dalam tafsir bil-ma’tsur lebih mudah dicari jalan pemecahannya daripada yang terdsapat pada tafsir bir-ra’yi, lebih lagi dalam tafsir isyari. Ialah dengan jalan penyeleksian, manakah penjelasan (tafsiran) itu benar-benar muttashil (sambung sampai kepada Nabi Saw) yang kuat (tsiqah dan marfu}, atau yang mauquf dan dla’if.

Penilaian para ulama terhadap tafsir bil-ma’tsur ini lebih banyak bisa diterima. Banyak yang menyatakan, bahwa tafsir bil-ma’tsur merupakan bentuk tafsir yang terbaik. (lihat : Ibnu katsir, t. th. I : 3 ; As-Zarkasyi, 1957, II : 175 ; Ibnu Taimiyah, 1971 : 18).

Di samping itu, dengan metode bil-ma’tsur akan teratasi pengaruh mazhabiyah, artinya tidak akan mudah membawa al-qur’an kepada kehendak suatu golongan tertentu, sehingga nilai universalitas al-Qur’an tetap terjaga. Tafsirannya juga. Mudah di terima oleh semua pihak/golongan. Dengan demikian, nilai-nilai essensi al-Qur’an (ajaran Islam secara umum) akan tetap utuh, serta problem perpecahan umat akan mudah teratasi karena semuanya berkiblat pada nilai-nilai asasi ajaran Islam yang pokok.

Kelebihan yang lain dari metode bir-ma’tsur ini adalah memudahkan pemahaman suatu masalah secara tuntas. Karena suatu masalah dalam suatu ayat yang tidak dapat dipecahkan dalam ayat itu, akan dijelaskan dengan tuntas dengan pendekatan ayat yang lain’ dengan as-Sunnah atau dengan metode bir-ma’tsur, akan lebih meyakinkan dan sedikit memberi kepuasan.

Dengan adanya metode tafsir bir-ma’tsur, maka penjelasanya suatu masalah dalam suatu ayat akan terlihat secara lengkap; dengan ayat lain, dengan as-sunnah, atau dengan pendapatan para Sahabat dan Tabi’in. Pada perkembagan ilmu tafsir berikutnya, metode yang mengacau kepada tafsir bir-ma’tsur tersebut dikenal dengan “Tafsir Maudu’i” . Yang menurut Abdul Djalal, ialah :

Tafsir yang menjelaskan beberapa ayat al-Qur’an mengenai suatu judul/topik/sektor-sektor tertentu, dengan memperhatikan urutan tertib turunnya masing-masing ayat, sesuai dengan sebab-sebab turunnya yang dijelaskan dengan berbagai macam keterangan dari segala seginya dan diperbandingkannya dengan keterangan berbagai ilmu pengetahuan yang benar yang membahas topik/judul/sektor yang sama, sehingga lebih mempermudah dan memperjelas masalah. (Abd. Djalal, 1986 : 30 ).

III. URGENSI TAFSIR MASA KINI

Kepentigan tafsir al-Qur’an pada masa sekarang, tidak terlepas dari fungsi dan kedudukan tafsir al-Qur’an secara umum, yang berfungsi untuk menggali nilai-nilai al-Qur’an (nilai-nilai petunjuk al-Qur’an) . Nilai-nilai petunjuk al-Qur’an tersebut terbagi dua pokok, yaitu : pertama , bersifat Qath’i (pasti), yang dalam pengaplikasiannya bersifat universal, dan tidak temporer; kedua, bersifat Zhanni, bersifat dinamis dan fleksibel, yang dalam pengaktualisasiannya membutuhkan penafsiran dan penjabaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Karena penafsiran yang dibutuhkan sepanjang zaman itu, dipengaruhi oleh kultur pada zamannya. Atas dasar kenyataan seperti ini selalu dibutuhkan pembaharuan dalam penafsiran al-Qur’an, sesuai dengan prinsip : “al-Muhafadhatu’ala qadimishshalih, wal-akhzu bil-jadidil-ashlah.” (Menjaga yang terdahulu sudah baik, dengan mengambil nilai-nilai yang baru yang lebih maslahat).

Menafsirkan al-Qur’an adalah menganalisis dan menginterpretasi al-Qur’an, yang juga di dalamnya termasuk mena’wilkan al-Qur’an, sebagai upaya untuk menyingkap dan memahami maksud yag terkandung di dalam al-Qur’an tersebut. Pekerjaan semacam ini, sudah dilakukan semenjak al-Qur’an sedang dalam proses diturunkan, dan terus-menerus dilakukan oleh para ulama berikutnya. Namun, rasanya sekarang usaha tersebut mengalami penurunan, mesti lebih dekat dikatakan berhenti. Keadaan tersebut, yang menjadi penyebab utama terjadinya kemunduran umat Islam di segala sektor. Mereka terpedaya oleh sebagian pendapat pemuka mereka yang menganggap cukup dan lengkap apa yang sudah dikerjakan oleh para pendahulunya. Mereka tidak mau bersusah payah untuk menggali nilai-nilai al-Qur’an yang sesuai dengan masa kini, sebagai bahan untuk memecahkan berbagai persoalan umat yang kian semakin rumit.

Untuk itulah, perlu menjadi renungan bersama: “cukuplah umat Islam dewasa ini hanya berpangku tangan dan bertopang dagu menatap kemajuan bangsa-bangsa dan umat yang lain”.? Relakah mereka hidup dalam segala kemunduran?

Bila mereka rela atas kenyataan umat Islam dewasa ini, maka tidaklah perlu untuk menjawab problem kehidupan umat masa sekarang dari al-Qur’an. Bila tidak ? perlukah kiranya mencari bentuk (metode) penafsiran al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan masa kini. Karena umat Islam sekarang ini tidak akan dapat kembali jaya, kecuali dengan cara mengikuti jalan kejayaan yang pernah dicapai oleh perintis-perintis mereka, bahkan harus lebih maju. Upaya itu adalah kembali memahami petunjuk al-Qur’an; menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang diaplikasikan dalam setiap prilakunya; menjadikan al-Qur’an sebagai hukum yang hidup ditengah-tengah kehidupan. (Lihat: Az-Zarqani, t.th. I : 475).

Kiranya, dapat ditawarkan sebuah metode alternatif dalam upaya mencari bentuk penafsiran yang relevan dengan masa sekarang. Ialah metode “Tafsir al-Maudlu’i” (al-Manhaj al-Maudlu’i).

IV. METODE TAFSIR YANG TERPILIH

Dari sekian banyak metode tafsir al-Qur’an, sementara al-Manhaj al-Maudlu’i (metode tafsir maudlu’i/metode topikal), yaitu mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan satu topik tertetu, dengan memperhatikan masa dan sebab-sebab turunnya; mempelajari ayat-ayat itu secara cermat serta mendalam dengan memperhatikan peranan nisbah ayat yang satu dengan yang lainnya dalam menunjukkan suatu masalah. Kemudian menyimpulkan permasalahan yang dibahas dengan memperhatikan dalalah ayat-ayat tersebut secara utuh dan terpadu. Metode seperti itu, dianggap sebagai model terakhir abad ini, tanpa mengurangi nilai dan arti tafsir-tafsir sebelumnya.

Dengan metode al-Maudlu’i di atas, akan memudahkan umat Islam dalam menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an sesuai dengan situasi dan kondisi, tuntutan zaman sekarang serta sesuai pula dengan sifat al-Qur’an yang universal. Dengan itu akan mudahlah memahami suatu permasalahan secara tuntas.

V. PENUTUP

Kiranya dapat disimpulkan bahwa keadaan umat Islam sekarang membutuhkn pemahaman yang aktual terhadap isi kandungan al-Qur’an. Pemahaman yang sesuai dengan kondisi umat Islam dewasa ini dan kemajuan zaman masa kini; konsepsi penafsiran al-Qur’an yang mampu memecahkan permasalahan-permasalahan umat masa sekarang.

Konsepsi penafsiran al-Qur’an yang sesuai dengan keadaan sekarang adalah penafsiran yang bersifat topikal; yang terkandung di dalamnya penjelasan al-Qur’an secara kontekstual. Penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan topik tertentu dan dikaitkan atau ditinjau dari berbagai segi sains atau teknologi.

Untuk mewujudkan maksud di atas, maka perlu membentuk “Team Penafsiran al-Qur’an” yang melibatkan berbagai ahli dari beragam disiplin ilmu yang berbeda. Tapi, tetap komitmen dengan al-Qur’an dan ajaran Islam serta kaum muslimin.

oooOOOooo

Sabtu, 05 Juni 2010

HARAPAN KEABADIAN

Pejamkan mata . . . .
Tenangkan pikiran . . . . . .
Sucikan hati . . . .
Niscaya keabadian akan menghampiri

Keabadaian sejati adalah selamatnya jiwa
Dan hapusnya raga
Laailahaillallah

Jiwa yang selamat ibarat sebercak cahaya
Yang menerangi kegelapan
memberikan harapan, membangkitkan semangat,
penuh ketenteraman dan tentunya menyelamatkan

siapakah yang berharap, siapakah bersemangat, siapakah yang rindu akan ketenteraman dan keselamatan ? ? ?

D I A i t u a d a l a h a R A S A

Rasa yang selalu menggelora, merindukan keindahan dan buaian
Rasa yang selalu sepi dan sunyi
Dari Rabb-Nya
Dzat yang maha pengasih dan maha penyayang

Karena rasa hanya digunakan
untuk merasakan gerakan, arahan, bimbingan dan petunjuk nafsu
Nafsu yang menyebabkan kehancuran,
Kecelakaan, kebinasaan dan penyesalan yang tiada henti

Padahal . . . . .
Nafsu adalah sebuah anugerah yang amat berarti,
Yang amat berdaya guna,
Yang amat penting
Yang dititipkan ilahi sebagai sarana untuk mengantarkan
Rasa hati pada
KEABADIAN, KETENTERAMAN,
KEDAMAIAN, KESEJUKAN
DISISI-NYA